Jumat, 30 Desember 2011

Saving Dulu, Baru Shopping


Dalam mengatur prioritas pengeluaran, ada satu prinsip yang selalu saya tekankan, yaitu “saving dulu baru shopping”. Atau pos pengeluaran untuk menabung/investasi (saving) seharusnya didahulukan sebelum pos pengeluaran untuk biaya hidup (shopping).

 Ketika saya sampaikan prinsip ini, banyak orang yang memberikan komentar yang pesimis. “Wah, gak mungkin itu kita lakukan. Selama ini aja berasa kurang, bagaimana mau saving duluan. Nanti malah gak ada buat shopping”. Tentunya ini adalah alasan klasik dan memang tidak mudah untuk mengubah paradigma dalam mengelola keuangan yaitu mendahulukan saving dulu daripada shopping.
Ah, itu kan cuma bisa dilakukan oleh orang yang penghasilannya besar sekali. Penghasilan saya kan pas-pasan”. Lagi-lagi alasan itu yang keluar sekalipun saya tekankan betapa pentingnya melakukan investasi/menabung sebelum digunakan untuk belanja.

Kalau Anda masih menganggap bahwa konsep saving dulu baru shopping hanya akan bisa dilakukan oleh seseorang yang berpenghasilan besar, mari kita simak testimoni dari seorang istri kuli angkut di pelabuhan tanjung priok. Dari sisi penghasilan jelas tidak seberapa, jauh dibandingkan penghasilan Anda sebagai karyawan.

Pada saat saya menyampaikan konsep ini di hadapan sekitar seratusan orang peserta yang mayoritas adalah kalangan kurang mampu yang mengandalkan penghidupannya dari kawasan pelabuhan Tanjung Priok dan sekitarnya, memang sebagian diantara mereka pesimis bisa menjalankan konsep ini dengan baik. Karyawan berpenghasilan tetap di atas UMR saja masih banyak yang pesimis, apalagi mereka yang penghasilannya tidak pasti dan di bawah UMR, wajar sajalah untuk pesimis.

Tapi diantara yang pesimis, ada sebagian orang untuk memilih tetap bersikap optimis. Setidaknya tidak sebelum mencoba konsep tersebut dalam rumah tangga mereka. Sebutlah ibu Neni yang memilih untuk mencoba lebih dahulu sebelum mengatakan TIDAK.
Jika biasanya ibu Neni selalu menyediakan segelas kopi dan sebungkus rokok setelah sarapan untuk bekal suaminya bekerja seharian, hari itu ibu Neni menyediakan segelas kopi dan hanya menyediakan 2 batang rokok saja di samping gelas kopi.

“Kok cuman 2 batang doang? Emangnya duit yang gue kasih semalem kurang?” tanya sang suami.
“Mulai hari ini, gue mau nabung bang. Duitnya gue tabung dulu, sisanya ya itu buat rokok cuman kebeli 2 batang. Nanti kalo kurang ya tinggal beli lagi aja. Sekarang cobain aja dulu sehari 2 batang” begitu penjelasan ibu Neni pada suaminya.
“Nabung…Kagak salah denger gue? Emangnya duit kite ada sisanya apa buat ditabung?” Tanya suaminya penasaran.
Ibu Neni tak mau kalah menjawab “Justru itu bang. Kalo nunggu sisa mah mana bisa. Mangkanye itu duit semalem gue tabung dulu, terus belanja dapur tadi pagi, nah sisanya itu rokok cuman bisa kebeli 2 batang. Gitu kemarin gue diajarin di pengajian.”
“Aaah… ya udeh deh. Hari ini 2 batang aja. Bagus sih lu bisa nabung, tapi laen kali kagak usah ikut pengajian kaya gitu lagi deh.” Gumam si suami yang setengah setuju tapi masih berasa berat menjalankannya.
Alhasil hari itu si suami berangkat kerja hanya dengan 2 batang rokok di kantongnya. Sepulangnya ke rumah, ia tidak meminta tambahan rokok dan ternyata 2 batang rokok memang cukup jika yang tersedia hanya 2 batang itu. Dan keesokan ia kembali dibekali 2 batang rokok, tidak lebih. Namun kali ini ia tidak banyak bicara, terima saja aturan baru yang dijalankan istrinya.

Ini bukan masalah rokok yang memang bisa dikurangi, atau apapun juga. Tapi pada dasarnya setiap pengeluaran ternyata masih bisa dihemat, apapun itu. Sehingga tidak ada alasan lagi penghasilan pas-pasan membuat Anda sulit menabung.
Yang perlu dilakukan adalah mencoba mengubah kebiasaan. Ubah kebiasaan Anda untuk saving dulu baru shopping. Mungkin akan ada jatah shopping yang terpaksa berkurang. Tapi sejalan dengan waktu, hal itu akan menjadi kebiasaan baru dan tidak akan berasa lagi kurang.

Follow his twitter

Tidak ada komentar:

Posting Komentar