Kita
hari ini adalah hasil dari apa yang kita putuskan kemarin.
Kita
esok adalah hasil dari apa yang kita putuskan hari ini.
Saya
teringat suatu kali pernah berdiskusi dengan seorang sahabat. Setelah membahas
berbagai hal, sampailah ia pada pertanyaan, “Siapa kamu?”
Tentu
saja saya jawab, “Saya Teddi.”
“Bukan,
itu namamu. Siapa kamu?” tanyanya lagi.
Saya pun
terperangah, terbengong sebentar, baru kemudian bisa berkomentar, “Iya ya.
Selama ini aku pikir jawaban untuk pertanyaan seperti itu adalah dengan
menyebutkan nama. Padahal, nama hanyalah sebuah doa yang dipanjatkan oleh orang
tua kita, yang bisa jadi sudah, sedang, atau belum terwujud.”
Apalagi
jika kemudian ada seseorang yang menggunakan nama beken, yang jauh dari nama
aslinya. Bisa jadi ia hanyalah merupakan sebuah julukan yang maknanya begitu
dangkal, sehingga sama sekali tidak menggambarkan sosok asli sang pemilik. Maka
pertanyaan sederhana seperti di atas rupanya memiliki jawaban yang tak kunjung
usai dijawab, tergantung dengan menggunakan kaca mata dan sudut apa.
Sejurus
kemudian, pikiran saya bergelayut pada sebuah ungkapan Abraham Maslow, “Ia yang
memegang palu, akan melihat segala hal sebagai paku.”
Seketika
saya pun bertanya-tanya, “Jangan-jangan, cara saya menjawab pertanyaan ‘Siapa
aku?’ ada hubungannya dengan cara saya berpikir dan berperilaku selama ini?
Jangan-jangan apa yang biasa saya anggap sebagai sesuatu yang sulit sebenarnya
mudah? Jangan-jangan apa yang selama ini saya anggap sebagai karakter saya
sejatinya sesuatu yang bisa diubah?” Dan seterusnya.
Cukup
lama saya merenungi hal ini, yang sampai kini rasanya belum tuntas. Namun
sebuah titik cahaya mulai terkuak ketika saya belajar soal “nominalisasi” dalam
NLP.
Nama
adalah Nominalisasi
Ya, nama
adalah nominalisasi. Dan nominalisasi? Adalah proses pembendaan (nomina)
terhadap sesuatu yang bukan benda. Sebagai contoh, kata pendidikan adalah kata
benda. Namun kalau kita telusuri di dunia ini, takkan pernah kita bisa
menemukan benda yang bernama pendidikan. Ia adalah label yang diberikan kepada seperangkat
sistem untuk mendidik manusia, sehingga mudah dan praktis disebut. Begitu pula
dengan kebahagiaan, kesuksesan, dll. Kesemuanya tak
berwujud, namun seolah memiliki bentuk.
Bagaimana
dengan nama seseorang? Bukankah ia memiliki wujud, yakni sang pemilik?
Ya dan
tidak. Nama seseorang amat berbeda dengan nama benda. Seorang manusia memang
memiliki wujud, namun ia tidak pernah statis seperti layaknya benda. Manusia
adalah makhluk dengan jiwa dan tubuh yang selalu tumbuh dan berkembang, berubah
seiring bertambahnya usia. Maka tak heran jika banyak orang sering mengalami
kondisi yang disebut pangling, karena seseorang yang dikenalnya mengalami
perubahan yang signifikan, baik secara fisik maupun psikologis. Kondisi
pangling ini terjadi sebab kita menyimpan ingatan tentang nama seseorang dan
menempelkannya pada sosok yang kita ingat saat terakhir kali berjumpa. Sehingga
ketika bertemu kembali dan teryata sosok tersebut telah berubah, seketika trance pun dialami yang membuat ingatan
tersebut harus direvisi.
Maka
menjawab pertanyaan “Siapa Aku?” hanya dengan menyebutkan nama jelas amat tidak
tepat. Karena sang diri ini telah berkembang begitu kompleks sehingga bisa jadi
sang nama tak sanggup lagi mewakili. Pertanyaan ini harus dijawab dengan proses
masuk ke dalam, membedah satu demi satu, aspek demi aspek, detil demi detil,
sampai akhirnya bertemu dengan cetak biru yang mendasari terbentuknya perilaku.
Pun proses seperti ini takkan sanggup menjawab semuanya, lagi-lagi dikarenakan
sang diri pun terus berevolusi tanpa henti.
Menggunakan
NLP Untuk Mengenal Diri
Titik keunikan NLP adalah terletak pada pakem “the
difference that makes a difference”. Perbedaan yang membedakan. Secara
operasional, bentuk riilnya adalah mempelajari struktur sebuah perilaku,
alih-alih berkutat dengan isinya.
“Bukan soal apa yang Anda katakan,” kata sebuah pepatah,
“melainkan bagaimana Anda mengatakannya.” Tidak cukup sekedar mengatakan, “I
love you,” melainkan harus mengatakannya dengan penuh ketulusan dan kesungguhan
agar ia punya efek menukik ke dalam hati yang mendengar.
Sementara telah begitu banyak ilmu mengkaji soal “apa”
yang kita katakan, maka NLP fokus pada “bagaimana” kita mengatakannya. Maka ia
pun seringkali didefinisikan sebagai sebuah ilmu tentang “struktur dari
pengalaman subyektif”.
Maka memberdayakan NLP dalam rangka mengenal diri adalah
menggunakannya untuk mengenali struktur subyektif diri ini. Dalam “NLP
Communication Model” atau yang sering juga disebut dengan “Human Model of the
World”, diuraikan bahwa sumber dari sebuah perilaku adalah kondisi
pikiran-perasaan atau state of mind.
Karenanya, mengubah perilaku sejatinya adalah proses mengubah state of mind yang menaunginya. Tentu
sulit bagi Anda tersenyum bahagia jika kondisi pikiran-perasaan Anda sedang
berduka, bukan? Kalaupun Anda bisa tersenyum, orang tentu akan begitu mudah
menyadari bahwa senyuman Anda adalah sekedar penghibur hati. Begitu pula sukar
bagi Anda menyembunyikan rona wajah keceriaan saat hati sedang bersuka ria,
meski Anda berusaha keras untuk tetap terlihat tenang.
Lalu darimana datangnya state of mind?
Dari integrasi yang harmonis antara persepsi (lebih beken
dengan istilah representasi internal, dalam NLP) dan gerakan tubuh (fisiologi).
Pikiran dan tubuh adalah satu kesatuan yang tak terpisahkan, kata salah satu
pakem dalam NLP. Maka suasana sedih adalah kesatuan antara posisi tubuh yang
mendukung untuk merasa sedih, yang berjalin kelindan dengan pikiran yang
dipenuhi ingatan tentang kesedihan. Sebagaimana suasana semangat nan antusias
adalah perkawinan antara tubuh yang segar berirama dengan pikiran yang fokus
pada hal-hal yang mungkin.
Gerakan tubuh lebih mudah nan praktis untuk mengubah state of mind, hanya tanpa pengubahan
persepsi, ia selayaknya P3K semata. Sementara pengubahan persepsi relatif
sedikit lebih kompleks, namun memiliki efek yang jauh lebih permanen. Inilah
yang sering disebut oleh para motivator sebagai mindset.
Nah, sampai di sini, maka mengenal diri menggunakan
kacamata NLP adalah proses membedah sumber perilaku sang diri dengan
mempelajari efek gerakan tubuh dan struktur persepsi yang kita miliki. Dengan
memahami cara keduanya bekerja, kita bisa dengan mudah mengendalikan serta
mengarahkan perilaku untuk mencapai hasil yang kita inginkan. Persis seperti
bunyi sebuah pepatah, “Yang kita sadari, bisa kita kendalikan. Yang tidak kita
sadari, mengendalikan kita.”
Bagaimana persisnya? Kita mulai dari…
Mengenal Soal Mind
Meskipun kata mind
seringkali diterjemahkan sebagai pikiran yang melulu bersifat intelektual, saya
lebih sepakat bahwa ia dipahami layaknya dalam ilmu psikologi: the totality of conscious and unconscious mental
processes and activities. Maka mind
bukan hanya soal kognitif, melainkan juga afektif dan psikomotorik. Bukan hanya soal intelektual,
melainkan juga emosional dan fisikal. Ia tidak hanya yang
menyebabkan Anda dan saya bisa berpikir secara rasional, melainkan juga merasa,
dan berperilaku.
Agak bingung?
Bagus. Saya beri ilustrasi. Pikirkan seseorang yang Anda
cintai. Lihat wajahnya, dengar suaranya, sepenuhnya.
Aha, bukankah Anda tak bisa menahan munculnya rasa cinta, padahal ia tak secara
sengaja Anda munculkan?
Contoh sederhana ini membuktikan bahwa pikiran dan
perasaan memang tak pernah saling melepaskan diri, meski sains konon berusaha
memahaminya secara terpisah. Pada kenyataannya, saat seseorang merasa tak
berdaya, maka ingatan buruk lebih mudah terpikir. Begitu pun ketika ia sedang
memikirkan bonus akhir tahun, tak kuasa ia menahan kegembiraan.
Nah, sebagaimana definisi yang telah saya sebutkan di
atas, mind memang meliputi
proses conscious dan unconscious. Sebuah pembedaan yang
paling banyak dikenal di ranah NLP dan hipnosis, di samping bahasan-bahasan lain
seperti subconscious, super conscious, dll.
Karena saya ingin mengajak Anda untuk dapat segera mempraktikkannya,
maka kita ambil yang mudah saja. Toh, ini semua hanya asumsi, yang bisa berubah
seiring waktu.
Mind ada dua, conscious mind dan unconscious
mind. Ada banyak cara untuk menerangkan keduanya, dan saya memilih
yang paling praktis. Pada intinya, conscious
mind adalah segala sesuatu yang Anda pilih untuk sadari saat ini.
Maka tulisan yang sedang Anda baca ini sedang berada dalam conscious mind Anda, mungkin bersama
dengan beberapa hal lain.
Sementara itu, sisanya yang jauh lebih banyak, berada di unconscious mind. Ia adalah segala hal
lain yang sedang tidak Anda sadari dan menjalankan perannya masing-masing dalam
diri Anda. Anda tak perlu berpikir tentang bagaimana menggerakkan kaki untuk
bisa berjalan lurus, bukan? Ya, karena cara berjalan yang baik telah teregister
dengan amat kokoh dalam unconscious mind
Anda. Unconscious
mind adalah
kumpulan entah berapa banyak pembelajaran yang telah menjadi kebiasaan selama
hidup, baik dipelajari secara sadar maupun tidak.
Maka conscious dan unconscious mind adalah dua bagian yang bekerja saling melengkapi. Conscious berfungsi penting dalam hal
akuisisi pengetahuan dan keterampilan, sementara unconscious menjadikannya sebuah sistem yang berjalan
otomatis sehingga hidup jadi mudah. Di awal belajar sepeda, seseorang perlu
memperhatikan begitu banyak hal, mulai dari arah stang, gerakan kaki saat
mengayuh, menjaga keseimbangan, dst. Begitu lancar dan menjadi keterampilan,
maka hal-hal tersebut tak lagi jadi perhatian, sehingga ia bahkan bisa dengan
mudah melepaskan tangan.
Ah, Anda
tentu ingat pertama kali belajar membaca dan menulis, bukan? Betapa rumitnya
memahami fungsi huruf, merangkainya menjadi kata, lalu kata menjadi kalimat.
Dan sekarang? Semuanya begitu ringan nan sederhana.
Dalam unconscious mind lah tersimpan segala program yang menurut bahasa
psikologi disebut sebagai karakter, bakat, kepribadian, dan lain sebagainya.
Dalam unconscious mind pula
terkandung berbagai program yang menurut bahasa NLP dikenal sebagai identitas
diri, keyakinan, kemampuan, dan perilaku.
Maka
proses pengenalan diri menggunakan NLP adalah proses untuk mengenali dan
memahami cara kerja berbagai program yang terinstal dalam kedua bagian mind ini. Jauh lebih banyak program
kita berada pada unconscious,
maka dari sana
lah kita pertama kali akan memulai perjalanan. Begitu dikenali, dan diputuskan
untuk diubah, maka kita pun memerlukan conscious
mind untuk memasukkan Informasi baru guna dikembangkan menjadi
perilaku yang diinginkan.
Semisal,
seorang manajer penasaran bagaimana bisa memotivasi anak buahnya untuk mulai
berpikir konseptual daripada hanya memerhatikan hal-hal detil dalam
pekerjaannya. Setelah ditelusuri, dikenali bahwa hal ini disebabkan oleh
kebiasaannya yang selalu fokus untuk meneliti satu demi satu pekerjaan anak buahnya
setiap kali membaca sebuah laporan. Tidak heran, mereka pun fokus pada hal
tersebut.
Begitu
mulai mengenali pola perilakunya, sang manajer pun bersegera menyelami berbagai
program yang melatarbelakangi kebiasaannya tersebut. Setelah beberapa waktu, ia
pun menyadari adanya sebuah keyakinan yang tertanam kuat semenjak ia pertama
kali bekerja. Sebuah keyakinan yang diajarkan oleh salah seorang atasan yang
amat berpengaruh, “The devil is always in the details!” Demikian kalimat yang
berulang kali ia dengar hingga menjadi keyakinan yang begitu mendarah daging
selama karirnya.
Menyadari
program ini, ia pun segera mempelajari struktur dan cara kerja keyakinan
tersebut. Bekal NLP jelas amat praktis untuk melakukan proses ini. Sampai di
sini, maka ada banyak pilihan model dan teknik yang dapat digunakan untuk
melakukan upgrade terhadap keyakinan lama dan menyesuaikannya dengan kondisi
yang kini dihadapi. Nah, saya sendiri lebih cocok dengan istilah upgrade
daripada menghapus atau mengubah. Sebab tidak ada keyakinan yang buruk, yang
ada hanyalah keyakinan yang perlu diperluas sehingga lebih fleksibel dengan
berbagai situasi. Sebagai contoh, jika waktu kecil seorang anak bisa menangis
karena tidak mendapat permen, maka setelah dewasa ia tetap bisa menangis, namun
untuk alasan yang jauh lebih kompleks daripada tidak dapat permen.
Selesai
di sini?
Tentu
tidak. Ia tetap harus memulai langkah riil untuk menjadikan keyakinan baru ini
kokoh layaknya keyakinan yang lama, melalui implementasi sehari-hari, sehingga
menjadi tanggung jawab unconscious mind kembali.
Nah,
inilah yang saya maksud dengan menyelami unconscious
mind, mempelajari strukturnya secara conscious, kemudian melatihnya hingga kembali pada unconscious mind.
Sumber : www.TeddiPrasetya.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar