Rabu, 16 Januari 2013

Cuti Sakit Hati


Cuti Sakit Hati
#13HariNgeblogFF

            Kirana mematikan televisi setelah beberapa kali mengganti chanel dan ia mendapati bahwa saat itu sekitar pukul setengah tujuh pagi acara televisi menyiarkan berita tentang jadwal demo, banjir dua hari lalu, kemacetan parah, korupsi pejabat, perselingkuhan artis dan sederet berita negative lainnya.
            Sebagai seorang mahasiswi tingkat akhir yang sedang mengerjakan skirpsi, Kirana termasuk anak yang sangat tidak suka atau bahkan bisa dibilang membenci melihat banyaknya hal negative berkeliaran di lingkungannya.
            Setelah melahap dua potong roti tawar yang diolesi selai coklat, Kirana mengambil tas slempang berwarna ungu, warna favoritnya, menyelendangkannya dipundak dan berangkat dengan santai menuju kampusnya. Ia ada jadwal  bertemu dengan dosen pembimbing untuk membahas mengenai skripsinya. Dan karena Kirana memang sudah menyiapkan keperluan bimbingannya sejak tadi malam, pagi ini ia tidak perlu grasak-grusuk menyiapkannya seperti kebanyakan mahasiswa lainnya.
            Seperti tiap pagi yang dilalui Kirana atau siapapun di bus transjakarta, pasti banyak yang mengeluhkan betapa parahnya kemacetan, betapa banyaknya kejahatan, betapa sulitnya kehidupan dan hampir semuanya merasa bahwa kehidupannyalah yang paling menderita, hal ini diungkapkan dengan melihat ekspresi kesedihan di wajah mereka, tidak ada semangatnya, seolah-olah mereka pergi kekanto ataupun tempat tujuannya adalah hal yang tidak ingin mereka lakukan sungguh hal yang memprihatinkan.
            Kirana sampai kampusnya empat puluh menit, lebih cepat dai janjinya dengan sang dosen. “Lumayanlah, bisa baca buku di perpus sebentar sekalian liat timeline twitter”, batin Kirana. Ia senyam senyum sendiri melihat berbagai updatetan yang dilontarkandari teman-temannya di twiter, mulai dari seperti kebangun kesiangan ataupun susahnya menemui dosen pembimbing. Kirana sangat bersyukur bahwa orang tuanya mendidiknya dengan banyak hal positif sehingga ia senantiasa besyukur dan amat jarang mengeluh, ditambah lagi rasa laparnya akan pelajaran kehidupan yang membuatnya sering membaca biograpi orang sukses atapun buku-buku motivational.
            Dia tidaklah terlalu terpengaruh dengan keadaaan lingkungan yang selalu membuat orang mudah sakit hati dan menyalahkan orang lain tapi Kirana sadar bahwa siapapun yang sering mengeluhkan sesuatu adalah tanda tidak bersyukur, apalagi jika keluhannya itu dipamerkan agar dapat simpati orang lain, bagaimana jadinya nanti kehidupan orang itu kedepannya.
            Merasa cukup melihat timeline twitternya dan setelah me re-tweet beberapa status dari pebisnis favoritnya @MerryRiana , Kirana melog-out twitternya lalu berjalan kearah lift dan bersiap menuju lantai tujuh tempat ia akan bertemu dengan dosen pembimbingnya.
            Baru beberapa langkah keluar lift terdengar suara Milana, setengah berteriak
“Kiranaaa, gila, dosennya ngebatalin bimbingan hari ini, diganti jadi besok”
“oh gitu, yaudah ke bawah aja yuk” sahut Kirana tetap tenang.
Di dalam lift sampai kearah gerbang kampus, MIlana masih aja ngedumel
“tau gak, padahal gw udah beangkat cepet-cepet, semalem gw begadang demi ketemu pembimbing tapi dianya malah batalin janji mendadak, sialan nih dosen, bene juga kata anak-anak kalo dapet dosen kita dipersulit skripsinya”
“Santai aja Mil, itu kan mereka bukan kita, lagipula kita jadi ada waktu sehari lagi buat mempedalam skripsi kita” balas Kirana.
“Iya si Kir tapi kan harusny kalo dia batalin janji jangan mendadak, seenggaknya, pagi-pagi kek, sebelum kita berangkat” Milana kembali menyanggah.
            Kali ini Kirana tidak menyahut, ia tahu bahwa percuma saja mendebat masalah begini dengan orang seperti Milana, yang mengganggap seolah-olah dunia berhutang sesuatu padanya sehingga apapun yang dihaapkannya harus terpenuhi. Ia pun tidak sepenuhnya menyalahkan mereka yang pola pikirnya terbentuk karena asupan buruk mental dan otak dari lingkungan, tv atau bahkan orang tua sendiri.
            Mereka berpisah di halte karena arah rumah yang berbeda. Di sepanjang perjalanan Kirana masih berkutat dengan pikirannya sendiri, kapankah mereka menjadi dewasa dalam artian sebenarnya? Kapankah mereka berhenti menyalahkan orang lain? Berhenti memamerkan penderitaan masing – masing.
            Kirana mungkin terlalu muda untuk memikirkan hal ini, tapi, kesusahan yang dipamerkan ataupun hal negative lainnya marak terjadi sekarang sudah pasti karena tidak ada yang memikirkannya.
            Seandainya saja mereka mau untuk menahan keluhan atau paling tidak, mau untuk cuti sakit hati barang sehari, mungkin akan ada lebih banyak senyum dan tawa di lingkungan kita.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar