Setiap tau cerita orang yang baru masuk Islam selalu terharu dan senang. Ada juga malunya karena seringkali mereka yang muallaf malah belajar Islamnya lebih getol daripada gw dan itu juga yang bikin gw pengen lebih dalam mempelajari Islam.
Ini satu lagi kisah James, pria yang masuk Islam setelah mempelajari banyak keyakinan.
Bismillahirrahmaanirrahiim. Namaku James D. Frankel. Aku akan
menceritakan sedikit pengalaman tentang bagaimana aku masuk Islam. Aku
seorang professor dalam bidang perbandingan agama, aku juga mengajar
kelas Islam di Universitas Hawaii, Manoa. Dan aku tinggal di Hawaii
selama 2 tahun, sekarang memasuki tahun ke-3. Beberapa teman muslim
memintaku apakah aku bisa menceritakan pengalamanku. Jadi insya Allah
aku dapat melakukannya hari ini dan jika ini bermanfaat bagi siapapun,
semoga Allah memberikan hidayah kepada kita semua. - See more at:
http://www.syahida.com/2015/01/22/1520/kisah-mengharukan-mualaf-yahudi-kenapa-kita-ada-di-sini-kemana-kita-semua-akan-pergi/#sthash.sGfV3bYX.dpuf
Bismillahirrahmaanirrahiim. Namaku James D. Frankel. Aku
akan menceritakan sedikit pengalaman tentang bagaimana aku masuk Islam. Aku
seorang professor dalam bidang perbandingan agama, aku juga mengajar kelas
Islam di Universitas Hawaii, Manoa. Dan aku tinggal di Hawaii selama 2 tahun, sekarang
memasuki tahun ke-3. Beberapa teman muslim memintaku apakah aku bisa
menceritakan pengalamanku. Jadi insya Allah aku dapat melakukannya hari ini dan
jika ini bermanfaat bagi siapapun, semoga Allah memberikan hidayah kepada kita
semua.
Berasal dari Keluarga Yahudi
Berasal dari
Keluarga Yahudi
Seperti yang
kuberitahu, aku tiba di Hawaii 2 tahun yang lalu. Sebelumnya, aku hidup di kota
New York. Aku dilahirkan dan dibesarkan di kota New York, lahir pada tahun
1969, dan tumbuh di Kota Manhattan, juga di Brooklyn selama beberapa tahun
hidupku. Aku mempunyai keluarga dan hidup yang bahagia. Orangtuaku
membesarkanku tidak dengan agama manapun, tapi kurasa dengan beberapa
nilai-nilai moral dasar. Sebenarnya dilihat dari garis keturunan, latar
belakangku adalah Yahudi, tapi aku dibesarkan dalam didikan sekuler. Tidak
banyak praktek agama, dan satu-satunya hubungan yang kudapat dengan agama
adalah dari sisi ayahku, dari nenekku. Ibu dari ayahku yang merupakan Yahudi
yang taat. Darinya, aku belajar beberapa hal, kisah-kisah Bible, kisah-kisah
nabi. Untuk waktu yang singkat, orangtuaku sebenarnya memasukkanku ke sekolah
Ibrani untuk belajar, tapi aku tidak terlalu nyaman di sana dan dikeluarkan
karena terlalu banyak bertanya. Jadi mungkin inilah sifatku dan hal inilah yang
membawaku kepada keadaanku saat ini.
Komunis di
Usia 13 Tahun
Sebagai
seorang professor dan muslim, aku terus bertanya banyak hal. Jadi aku tumbuh
tanpa pondasi agama apapun, dan hal ini terus berlanjut dalam hidupku sampai
aku mencapai remaja, sampai aku berumur 13 tahun aku mengalami sesuatu. Nomor
satu: Aku membaca “The Communist Manifesto”, karangan Karl Max dan memutuskan
bahwa aku seorang komunis pada umur 13 tahun. Kupikir nilai-nilainya bagus dan
filosofinya berpotensial untuk memberikan manfaat kepada orang banyak. Pada
saat itu juga, kurasa inilah pertama kalinya aku berkenalan dengan Islam sejauh
yang kuingat.
Diberi
Hadiah Al Qur’an
Teman baikku
pada saat itu berasal dari Pakistan. Aku belajar di sekolah internasional, jadi
aku punya banyak teman dari berbagai penjuru dunia. Aku punya seorang
teman Pakistan yang memberikanku sebuah Al Qur’an. Dia ingin aku membacanya,
dia berkata, “Aku tidak ingin kau masuk neraka.” Dan tentu saja pada waktu itu,
pemikiran tentang surga dan neraka tidak terlalu kupikirkan. Dan aku mengambil
kitab itu dan menaruhnya di rak bukuku. Dan disitulah kitab itu bertahun-tahun
tanpa pernah dibaca.
Selalu
Berpikir Kritis
Beberapa
tahun kemudian kurasa aku merasakan kekecewaan, ketika tahu bagaimana komunisme
dipraktekkan dalam banyak negara di dunia, jadi aku membuang filosofi itu juga.
Dan baru ketika aku masuk kuliah aku menanyakan sebuah pertanyaan yang akan
menuntunku secara langsung kepada jalan ini. Kurasa sudah dari kecil aku selalu
berpikir kritis. Aku selalu ingin tahu makna kehidupan dan
pertanyaan-pertanyaan dasar seperti: kenapa kita ada di sini? Kemana kita akan
pergi? Kenapa kita menderita? Semua hal itu selalu hadir dalam pikiranku,
bahkan ketika aku masih anak-anak.
Kematian Nenek dan Pertanyaan yang Tak Terjawab
Tapi
seiring aku tumbuh dewasa dan ketika aku masuk universitas, aku lebih banyak
fokus dalam studiku sampai aku mengalami sesuatu. Ingat dengan nenek yang sebelumnya
kusebutkan? Ketika aku kuliah, aku tinggal di Washington D.C. Aku mendapat
telpon dari sepupuku yang ingin kuliah di Maryland. Dan ini merupakan sebuah
kunjungan bagi kakek-nenekku, bagi bibiku, dan sepupuku yang lain, dan mereka
mengajakku makan malam. Dan aku menghabiskan sebagian besar waktu malam hanya
berbicara dengan nenekku. Aku memberitahu tentang rencanaku untuk mulai belajar
di Cina yang kulakukan pada saat itu. Aku memberitahu rencanaku untuk kembali
ke New York untuk pindah ke Universitas Columbia. Dan aku melihat dia
memberikan sebuah pemberkatan pada semua keputusan yang kubuat dalam permulaan
hidupku sebagai seorang dewasa.
Pada
akhir malam, aku berjalan bersamanya ke mobilnya, dan di tempat parkir dari
restoran itu pergelengan kakinya terpelintir, dan dia jatuh terpeleset. Aku
bertanya padanya, “Nenek, apakah kau baik-baik saja?”. Dia berkata, “Jangan
khawatirkan aku, khawatirkan saja dirimu.” Aku berpikir, “Oke..” Kemudian aku
terus berjalan bersamanya ke mobil, aku membuka pintunya, dia masuk ke dalam,
aku mengecupnya dan mengucapkan selamat malam, dan berkata, “Tampaknya lain
kali aku berjumpa denganmu adalah pada Hari Thanksgiving, ketika aku kembali
dari New York.” Dia berkata kepadaku, “Jika Tuhan mengizinkan.” Dan aku tidak berpikir
banyak pada waktu itu. Aku menutup pintunya dan mobilnya jalan. Sepupuku
mengantarku kembali ke asrama dan aku pergi tidur.
Keesokan
subuhnya aku mendapatkan telpon dari sepupuku. Aku bertanya mengapa dia
menelponku sepagi itu. Dia berkata bahwa nenek sudah meninggal. Aku berkata,
“Yang benar?” Kupikir mungkin dia sedang bercanda. Aku berkata, “Apa yang kau
bicarakan?”. Dan dia menjelaskan bahwa nenek mendapat serangan jantung dalam
tidurnya. Dan tentu saja kata-kata terakhirnya masih bergema dalam telingaku.
Aku berkata, “Sampai jumpa lagi.” Dan dia berkata, “Jika Tuhan mengizinkan.”
Dan aku berkata, “Apakah kau baik-baik saja dan dia berkata, “Jagalah dirimu
sendiri.” Jadi sampai hari ini aku masih merasa bahwa kunjungan itu tak terduga
dan tentu saja kepergian tak terduga baginya. Dan sampai hari ini aku hanya
bisa menerka-nerka apa makna pertemuan dengan nenekku hari itu. Yang seperti
kukatakan merupakan satu-satunya hubunganku dengan agama.
Aku
kembali ke New York untuk pemakamannya, dan itu adalah pemakaman berdasarkan
cara Yahudi tradisional dan rabbi (pendeta Yahudi) yang memberikan eulogi
(pujian pada orang yang meninggal) membicarakan tentang nenekku. “Sarah adalah
harta karun yang langka”, katanya. “Dia seperti permata dan sekarang Tuhan telah
membawa permata ini kembali pada-Nya.” Aku berkata, “Oke, memang itu yang
dikatakan seorang rabbi (pendeta Yahudi)”.
Ketika
rabbi (pendeta Yahudi) itu datang ke rumah kakekku untuk menghormatinya, aku
ingin bertanya beberapa pertanyaan pada rabbi itu. Aku ingin bertanya tentang
beberapa praktek yang dilakukan dalam rumah Yahudi pada saat seseorang
meninggal, dan dia berkata, “Jangan khawatir tentang hal-hal itu, itu hanya
tradisi.” Aku berkata, “Oke, bagaimana dengan ini? Dalam ceramahmu kau berkata
bahwa nenekku… Aku tidak tahu seberapa baik kau mengenal dirinya, tapi kau
berkata bahwa dia diambil oleh Tuhan. Jadi dimana dia sekarang? Dan untuk kasus
ini, kemana aku akan pergi? Kemana kau akan pergi? Kemana kita semua akan
pergi? Kenapa kita ada di sini?” Dan semua pertanyaan yang ada dalam hati
seorang manusia. Dan rabbi itu, aku sangat mengingatnya, dia melihat jam
tangannya dan berkata, “Aku harus pergi.” Dan kurasa dia tidak sadar betapa hal
itu membuatku marah, dan kurasa dia juga tidak sadar bahwa sejak saat itu dia
membuatku menapaki sebuah jalur yang akan menuntunku hingga keadaanku saat ini,
karena aku menjadi sangat tertarik dengan pertanyaan itu. Saat itu, aku ingin
mencari jawaban pertanyaan itu untuk menghormati memori nenekku.
Mempelajari
Berbagai Agama
Aku mencoba
mencari komunitas Yahudi yang dapat menjawab pertanyaanku itu. Komunitas yang
kutemukan.., pada saat itu aku berumur 18 atau 19 tahu. Komunitas yang
kutemukan tidak membuatku puas. Dan aku menanyakan pertanyaan yang sudah
berulang kali kutanyakan sejak kecil : “Apakah Tuhan hanya untuk bangsa
Yahudi?” Hanya ada 20 juta orang Yahudi di dunia, sedangkan ada milyaran orang
lain. Tuhan juga menciptakan mereka, benar kan?
Jadi aku mulai belajar sendiri, aku mulai mempelajari
Bible. Dan saat itu musim panas ketika aku berada di Inggris, aku ada di sana
untuk magang. Ada beberapa Kristen Evangelis yang menghampiriku untuk
berbincang-bincang, dan tentu saja mereka juga ingin agar aku menerima iman
mereka. Aku berpikir, “Oke, kenapa tidak mencoba Kekristenan?” Aku belum pernah
benar-benar memikirkannya. Dan ketika membaca Bible, aku mendapatkan rasa cinta
yang kuat dan rasa hormat kepada Yesus. Tapi mereka menginginkanku untuk melompat
lebih jauh. Mereka ingin aku menerima Yesus sebagai Tuhanku dan penyelamatku ,
tapi hal itu tidak bisa kulakukan.
Yesus bagiku adalah seperti seorang abang.
Yesus bagiku lebih seperti seorang guru. Yesus bagiku adalah seorang Yahudi.
Dan aku tidak dapat menerima yang mereka katakan tentang Yesus. Tapi seperti
yang kukatakan, aku mendapatkan hubungan yang kuat tentang Yesus. Kupikir,
“Oke.., aku tak akan mendapatkan jawaban apapun untuk pertanyaanku.”
Seorang diri, aku juga belajar filosofi ketimuran,
Budha. Aku membaca Upasnishads dan aku membaca filosofi barat, khususnya Yunani
dan Romawi, filosofi Stoic, tapi tak ada yang benar-benar menjawab pertanyaan
mendalam yang kupunya.
Dan pada suatu hari, aku kembali ke New York tepat
sebelum perkuliahan semester baru dimulai. Aku berada di Times Square, dan ini
pada awal tahun 1990, jadi Times Square sangat berbeda dengan masa sekarang.
Saat itu masih agak berantakan. Di sana ada pecandu narkoba, wanita malam, dan
berbagai macam pengkhotbah agama. Dan aku ingat sedang berbicara kepada
seseorang aku selalu senang membicarakan agama dengan orang-orang seringkali
sebagai seorang skeptis.
Dan ada seseorang yang merupakan Yahudi pencinta
Yesus. Dia memberitahuku apa yang dia imani, dan aku sudah mendengar hal itu
sebelumnya. Pada dasarnya dia menganut agama Kristen. Dan dia memintaku untuk
berdoa bersamanya, tapi aku berkata, “Maaf, aku tidak mengimani apa yang kau
imani.” Dia berkata, “Tapi kau beriman pada Tuhan.” Aku berkata, “Kupikir
begitu.” Dia berkata, “Kalau begitu, berdoalah bersamaku. Berdoa saja kepada
Tuhan.” Dia menempatkan tangannya di bahuku, memejamkan matanya dan mulai
bicara kepada Bapa. Ketika matanya terpejam, aku mulai melihat ke sekeliling,
dan di pojok aku melihat seseorang dengan jenggot hitam yang panjang,
mengenakan jubah putih (jellabiya), sorban putih.
Mereka adalah orang Afrika
atau orang Afrika Amerika. Tapi tampaknya mereka baru saja membolak-balik
halaman Bible. Mereka terlihat seperti Noah, Abraham, atau seperti itu. Aku
berpikir, “Hm… aku seharusnya tidak menilai buku dari sampulnya, dan mengapa
tidak bicara dengan mereka?”
Setelah orang Yahudi Kristen itu selesai berdoa, aku
menghampiri mereka dan bertanya, siapakah mereka dan apa yang mereka
khotbahkan. Mereka memberitahuku bahwa aku mungkin tak akan tertarik
mendengarnya. Aku berkata, “Kenapa tidak?” Mereka berkata, “Karena kau adalah
iblisnya.” Aku berkata, “Benarkah? Aku iblisnya?” Mereka berkata, “Semua orang
kulit putih adalah iblis.” Dan aku berkata, “Jika aku iblisnya, biarkan aku
bertanya satu pertanyaan saja. Jika aku adalah iblis, kenapa aku begitu haus
untuk mengenal Tuhan?” Mereka menjelaskan padaku, “Bahkan iblis pun beriman
pada Tuhan.” Aku bertanya pada mereka, “Darimana kalian mendapatkan pengetahuan
ini?” (Aku sebenarnya tahu, aku pernah membaca sebuah essay di kampus tentang
‘Malcom X and The Nation of Islam’). Jadi aku paham bahwa mereka mungkin adalah
bagian dari grup Black Nationaalist Movement itu. Tapi aku tetap bertanya apa
sumber mereka tentang ini yang menyebutkan tentang sifat setanku. Mereka
memberikanku beberapa ayat dari Bible, kurasa dari Injil Daniel. Aku berkata,
“Tidak, tidak… Jika aku mau Bible, aku dapat mendapatkannya dari orang Yahudi
Kristen itu atau orang Kristen lainnya. Bagaimana dengan kitabmu? Bukankah
kalian membaca Al Qur’an?” Mereka berkata, “Ya.” Dan mereka memberiku beberapa
ayat untuk dibaca dari surat Al Kahfi.
Membaca Al Qur’an untuk Pertama Kalinya
Aku membawa pulang kertas berisi catatan tentang ayat
itu dan aku langsung menuju ke rak dimana ada Al Qur’an yang diberikan padaku 6
tahun yang lalu oleh temanku, Mansur. Aku mulai membacanya, aku mencari ayat
yang diberitahukan oleh mereka, membacanya, dan tentu saja tidak ada ayat yang
mengatakan bahwa aku atau orang kulit putih lainnya adalah iblis. Tapi karena
aku sudah terlanjur membacanya, maka aku membalik ke halaman awal, dan aku
mulai membacanya. Dan aku membaca, membaca, dan membaca hingga akhirnya aku
tertidur dengan kitab itu di tanganku.
Pada hari berikutnya, aku membaca, membaca, dan
membaca ketika ada waktu luang. Dan kapanpun aku punya waktu luang, di antara
jadwal kelas, ketika pergi ke sekolah memakai kereta bawah tanah New York, aku
terus menerus membaca Qur’an. Qur’an membuat hatiku bergetar dimana kitab
lainnya tidak pernah, dan tentu saja Bible tidak bisa membuatku seperti itu.
Bahasa Qur’an yang langsung, dan fakta bahwa Tuhan Penguasa Semesta, Sang
Pencipta seperti yang dijelaskan oleh kitab itu sendiri. Dia langsung berbicara
denganmu dengan sangat intim dan langsung pada beberapa ayat. Hal itu membuat
hatiku bergetar dimana aku tak pernah merasakannya sebelumnya. Dan aku tak
dapat memberitahumu dimana atau kapan tepatnya ada waktu ketika aku membacanya
terkadang air mataku mengalir membasahi pipiku. Terkadang ketika aku
membacanya, bulu-bulu di tanganku berdiri dan juga di tengkukku. Aku tidak bisa
menjelaskan di ayat mana, tapi pada suatu titik aku menyadari bahwa aku sedang
membaca firman Tuhan.
Aku Sudah Menjadi Seorang Muslim?
Di sekitar tahun baru pada waktu itu, kurasa Januari
tahun 1990, aku bertemu dengan teman-teman semasa SMA. Kami pergi minum kopi
dan membicarakan tentang kehidupan masing-masing. Mereka bertanya kepadaku,
“Apa yang kau percayai akhir-akhir ini?” Mereka tahu ketika aku masih komunis,
aku mengalami berbagai fase sebagai anak muda, dan mereka tahu bahwa aku adalah
orang yang tidak terlalu percaya pada apapun.
Jadi mereka bertanya padaku dan
aku berkata, “Aku percaya pada Tuhan.”
Mereka berkata, “Benarkah? Tuhan apa?”
Aku berkata, “Hanya ada satu Tuhan”
Dan mereka berkata, “Darimana kau tahu tentang ini?” A
ku berkata, “Aku membacanya dari Qur’an.”
Mereka berkata, “Jadi kau telah membaca Qur’an? Jadi
kau benar-benar percaya bahwa ini adalah pesan Tuhan dan Muhammad adalah Rasul
Tuhan?”
Aku berkata, “Ya, kurasa begitu.”
Temanku berkata, “Oke, biar kuluruskan hal ini. Kau
percaya bahwa hanya ada satu Tuhan dan Muhammad adalah utusan-Nya?”
Aku berkata, “Ya, aku percaya.”
Dia berkata, “Kau seorang muslim.”
Aku tertawa. Aku berkata, “Aku seorang muslim? Kaulah
yang Muslim, karena kau dari Pakistan. Aku hanya seseorang yang percaya adanya
Tuhan. Itu saja! Kaulah yang Muslim!”.
“Jika kau percaya bahwa tidak ada Tuhan selain Tuhan
Yang Esa, dan Muhammad adalah utusan-Nya, maka kau seorang Muslim.”
Dan aku terkejut mendengarnya. Untuk beberapa hari
berikutnya, aku harus berpikir apa artinya itu.
Sendirian Belajar Cara
Beribadah dari Buku
Kemudian aku menghubungi temanku, Mansur, yang
memberiku Quran ketika aku berumur 13 tahun. Aku dengar dia bekerja di
Universitas Pennsylvania dan berkerja di Muslim Studies Association di sana.
Jadi aku memintanya apakah dia bisa mengirimkan beberapa buku kepadaku.
Buku-buku yang memberikan pengenalan tentang Islam dan juga bagaimana kehidupan
dan syarat-syarat seorang Muslim. Dan dia mengirimkanku satu buku yang berjudul
“Islam in Focus”. Aku tidak ingat siapa nama pengarangnya sekarang, tapi buku
ini menyediakan pengenalan yang baik, tidak hanya pada dasar-dasar iman, tapi
juga tentang kelima rukun Islam. Aku belajar caranya sholat, aku belajar
mengucapkan syahadat, aku belajar caranya berwudhu. Semua hal ini dari buku itu.
Dan aku mulai sholat, kurasa kau dapat mengatakan aku seorang Muslim yang
tetutup karena aku hidup di rumah orangtuaku saat itu dan aku selalu menutup
pintunya ketika sholat. Dan bahkan pertama kalinya aku puasa di Bulan Ramadhan,
aku melakukannya benar-benar sendirian. Aku tidak punya komunitas, aku hanya
mengira-ngira kapan matahari terbut dan kapan matahari tenggelam, dan makan
pada waktu yang diperbolehkan. Jadi pada 6-8 bulan pertama kehidupanku sebagai
Muslim, aku benar-benar sendirian dan sumber petunjukku adalah Al Qur’an, dan
buku-buku para ulama. Dan itulah kisahku memeluk Islam.
Reaksi Keluarga Saat Mengetahui Keislamanku
Pada suatu titik, aku harus memberitahu keluargaku.
Jadi aku harus keluar dari kesendirian ini. Pada suatu malam ketika makan
bersama, aku duduk dengan keluargaku dan aku berkata kepada mereka, “Kalian
tahu bahwa aku sering membaca Qur’an.” Mereka berkata, “Ya, kami tahu, kau
membawanya kemanapun.” Aku berkata, “Aku benar-benar mengimaninya. Disamping
beriman, ada beberapa praktek yang harus dilakukan sebagai bagian dari keimanan
itu, yang kuputuskan untuk kuikuti. Jadi kurasa itu menjadikanku seorang
Muslim.” Reaksi ibuku sangat kuat. Dia menangis.
Dan kurasa mungkin dia
bertanya kepada dirinya sendiri, dia melihat ke ayahku dan berpikir, “Apakah
kami melakukan hal yang salah? Bagaimana ini bisa terjadi?” Kurasa reaksi
ayahku lebih tenang, dia mungkin berpikir, “Anakku seorang komunis ketika dia
berumur 13 tahun, dia menjadi skinhead(sub-budaya Inggris) ketika berumur 16
tahun, dia melewati begitu banyak fase, mungkin ini hanyalah fase lainnya. “
Dan kurasa ayah dan ibuku merencanakan sesuatu.
Mungkin mereka pikir, ini sebuah fase, tapi ini bukan
fase yang asal berlalu begitu saja, kupikir begitu. Dan ibuku tampaknya
menyadari bahwa aku serius dan tentu reaksinya adalah merasa takut dan
menyesal. Dan kurasa ini dapat dimengerti, ketika seseorang punya pandangan
terdistorsi yang didasari informasi yang salah atau terbatas. Jadi mereka
adalah tantangan yang terberat dalam tahun pertama itu, yaitu mencoba
berkomunikasi dengan orang tuaku. Aku harus mengatakan, Alhamdulillah, mereka
sangat pengertian dan penyabar dan kami telah saling memahami lebih baik.
Saat itu, mungkin ibuku khawatir kalau-kalau aku akan
berubah menjadi seperti monster. Tapi aku berusaha meyakinkannya bahwa sejak
masuk Islam, aku menjadi pelajar yang lebih baik. Kurasa aku menjadi anak yang
lebih baik. Kalian tahu, aku bukan anak yang buruk sebelum masuk Islam, mungkin
bagi sebagian orang. Belajar dalam jalan ini penting bagi mereka agar dapat
memperbaiki diri sendiri. Dalam kasusku, aku berterima kasih pada orangtuaku
karena telah memberiku nilai-nilai yang dapat kukenali ketika masuk Islam. Dan
sebelumnya aku bukan orang yang buruk dan Insya Allah, Islam telah membuatku
menjadi orang yang lebih baik. Jadi jalur setiap orang berbeda-beda, bagaimana
cara mereka sampai kesana.
Setiap orang punya cara yang berbeda dalam memahami
jalan ini. Bagiku hal ini banyak kaitannya dengan belajar dan mendapatkan ilmu.
Kurasa itulah yang menjadi dasar kehidupan. Tujuan dasar Islam adalah untuk
mendapatkan pengetahuan. Pengetahuan tentang diri sendiri. Pengetahuan tentang
dunia dan jagat raya, dan pengetahuan tentang hubungan kita dengan Allah. Jadi
ini mendorongku ke dalam karirku. Aku tidak tahu apakah aku akan menjadi
professor sekarang, jika tidak menjadi Muslim. Aku tidak mengatakan bahwa semua
orang harus menjadi professor, tapi bagiku ini adalah perjalanan yang panjang
dari belajar dan sekarang mengajar.
Hikmah 20 Tahun dalam Islam
Seiring berjalannya waktu, aku juga menghormati agama
lain juga, yang kupikir takkan kudapat jika aku tidak menempuh jalan Islam ini.
Kupikir sesuatu yang harus dimasukkan hati oleh Muslim yang baru adalah: ketika
seseorang menjadi Muslim, orang itu tidak menjadi orang yang berbeda.
Rasulullah SAW bersabda bahwa orang-orang membawa sesuatu yang mereka miliki
sebelumnya ke dalam Islam. Jadi bahkan di antara sahabat-sahabatnya, ada
beberapa orang yang punya bakat khusus atau tantangan, dan hal-hal inilah yang
harus mereka terus jalani setelah menapaki jalan ini. Jadi begitu juga, kurasa
hal ini benar bagiku, ada banyak tantangan dan hidup terus memberikan
tantangan. Ini hanya membutuhkan kesabaran.
Bagiku ini adalah perjalanan yang sudah hampir 20
tahun. Hanya Allah yang tahu bagaimana dan kapan akan berakhir. Jadi nasihatku
kepada Muslim yang baru atau bahkan kepada orang-orang yang sudah menjadi
Muslim sejak waktu yang lama adalah tetap bersabar, dan lihatlah apa yang Allah
sediakan yang akan mengejutkan kalian. Bukan dengan rasa takut, namun dengan
cinta dan harapan.
Jika ada non-Muslim yang mendengarku hari ini, kurasa
kau berhutang pada dirimu sendiri untuk mengetahui sebanyak yang kau bisa
tentang dunia di sekelilingmu. Islam dipastikan ada di dunia, ini tak
terhindarkan, di berita, dan di lingkungan sekitar kita. Dan jika kau tidak
mengenal Muslim manapun, mungkin kau akan mengenalnya pada suatu waktu
sumber :
Berasal dari Keluarga Yahudi
Bismillahirrahmaanirrahiim. Namaku James D. Frankel. Aku akan
menceritakan sedikit pengalaman tentang bagaimana aku masuk Islam. Aku
seorang professor dalam bidang perbandingan agama, aku juga mengajar
kelas Islam di Universitas Hawaii, Manoa. Dan aku tinggal di Hawaii
selama 2 tahun, sekarang memasuki tahun ke-3. Beberapa teman muslim
memintaku apakah aku bisa menceritakan pengalamanku. Jadi insya Allah
aku dapat melakukannya hari ini dan jika ini bermanfaat bagi siapapun,
semoga Allah memberikan hidayah kepada kita semua. - See more at:
http://www.syahida.com/2015/01/22/1520/kisah-mengharukan-mualaf-yahudi-kenapa-kita-ada-di-sini-kemana-kita-semua-akan-pergi/#sthash.sGfV3bYX.dpuf
Bismillahirrahmaanirrahiim. Namaku James D. Frankel. Aku akan
menceritakan sedikit pengalaman tentang bagaimana aku masuk Islam. Aku
seorang professor dalam bidang perbandingan agama, aku juga mengajar
kelas Islam di Universitas Hawaii, Manoa. Dan aku tinggal di Hawaii
selama 2 tahun, sekarang memasuki tahun ke-3. Beberapa teman muslim
memintaku apakah aku bisa menceritakan pengalamanku. Jadi insya Allah
aku dapat melakukannya hari ini dan jika ini bermanfaat bagi siapapun,
semoga Allah memberikan hidayah kepada kita semua. - See more at:
http://www.syahida.com/2015/01/22/1520/kisah-mengharukan-mualaf-yahudi-kenapa-kita-ada-di-sini-kemana-kita-semua-akan-pergi/#sthash.sGfV3bYX.dpuf
Bismillahirrahmaanirrahiim. Namaku James D. Frankel. Aku akan
menceritakan sedikit pengalaman tentang bagaimana aku masuk Islam. Aku
seorang professor dalam bidang perbandingan agama, aku juga mengajar
kelas Islam di Universitas Hawaii, Manoa. Dan aku tinggal di Hawaii
selama 2 tahun, sekarang memasuki tahun ke-3. Beberapa teman muslim
memintaku apakah aku bisa menceritakan pengalamanku. Jadi insya Allah
aku dapat melakukannya hari ini dan jika ini bermanfaat bagi siapapun,
semoga Allah memberikan hidayah kepada kita semua. - See more at:
http://www.syahida.com/2015/01/22/1520/kisah-mengharukan-mualaf-yahudi-kenapa-kita-ada-di-sini-kemana-kita-semua-akan-pergi/#sthash.sGfV3bYX.dpuf
Tidak ada komentar:
Posting Komentar